Sejarah Singkat Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan Tasawuf Beserta Aliran-alirannya

imagesnbA. Sejarah Singkat lahirnya Ilmu Kalam beserta Aliran-alirannya

Kelahiran Ilmu Kalam dilatarbelakangi oleh topik-topik pembahasan seputar Ketuhanan seperti jabr (doktrin yang menganggap bahwa Tuhan telah menetapkan sebelumnya apa yang akan terjadi, sehingga garis ketetapan itu tak dapat diubah. Dan mengenai kehendak bebas (ikhtiyar), serta topic mengenai keadilan Ilahi berlangsung di kalangan Muslim pada paro pertama abad kedua hijriah. Ada tokoh-tokoh yang senantiasa mendukung kehendak bebas (ikhtiyar) seperti Ma’bad Al-Juhani  paro abad kedua pertama (wafat tahun 80 H/699 M). Dan ada juga yang menentang kehendak bebas dan lebih mendukung jabr. Kaum yang memiliki kehendak bebas dinamakan Qodariah sedangkan lawannya adalah Jabariyah. Maka berangsur-angsur pokok-pokok perselisihan antara kedua kelompok ini meluas ke bidang teologi dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan manusia dan kebangkitan, diantaranya juga masalah jabr dan ikhtiyar.[1] Maka bermunculan aliran-alirab teologi dengan dasar ajaran dan keyakinannya masing-masing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai aliran-aliran kalam :

  1. 1.      Aliran Khawarij

Khawarij adalah aliran dalam teologi islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al_syahrastani, Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jamaah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.

Khawarij sebagai sebuah aliran teologi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali Ibn Abi Thalib yang meninggalkan barisan, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Ibn Abi Thalib yang menerima kesepakatan damai sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awyiyah Ibn Abi Sufyan.

Mereka pada umumnya terdiri dari orang-orang  Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana baik dalam cara hidup maupun cara berpikir. Golongan-golongan Khawarij yang terbesar menurut al-Syahrastani ada delapan. yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-Baihasiyyah, al-Ajaridah, al-Sa’alibah, al-Ibadiah dan al-Shufriyah.

a. Al-Muhakkimah.

Al-Muhakkirnah adalah mereka yang keluar dari barisan Ali ketika berlangsung peristiwa tahkim,. Pimpinan mereka diantaranya Abdullah bin Al-Kawa, Utab bin al- A’war, Abdullah bin Wahab al-Rasiby. Al-Muhakkimah ini adalah golongan Khawarij pertama yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Merekalah yang berpendapat bahwa Ali, Muawiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibnu al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim sebagai orang-orang yang bersalah dan menjadi kafir.

b. AI-Azariqah

Al-Azarigah adalah bagian dari golongan Khawarij yang dapat menyusun barisan baru yang besar dan kuat. Daerah kekuasaannya terletak di perbatasan Irak dan. Iran. Khalifah yang pertama mereka pilih adalah Nafi’ sendiri, dan kepadanya mereka memberi gelar Amir al- Mu’minin. Sub sekte al-Azariqah ini sikapnya lebih radikal dari Muakimah. Mereka mengubah term kafir menjadi term musyrik.

c. Al-Najdat

            Al-Najdat adalah golongan khawarij yang ketiga. Nama golongan ini diabil dari nama pemimpinnya yang bernama Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah. Mereka ini pada mulanya ingin bergabung dengan kaum Azariqah. Namun rencanan ini tidak terwujud, karena terjadi perselisihan paham antara pengikut al-Azariqah dengan al-najdat. Para pengikut Nafi’ Ibnu al-Azraq yang bernama Abu Fudaik, Rasyid al_Tawil dan Atiah al-Hanafi dalam tidak menyetujui paham al-Azariqah yang mengatakan bahwa orang Azraqy yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik.

Najdah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar dan dapat menjadi kafir serta kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang, tak sepaham dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat balasan siksa, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk surga.

2. Aliran Murji’ ah

Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran Khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Pada golongan Murji’ah yang moderat ini terdapat nama al-Hasan Ibnu Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Au Yusuf dan beberapa ahli hadis.

3. Aliran Qadariyah

Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan sebagai aliran dalam ilmu Kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia dipandang mempunyai gudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada Tuhan. Aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Qodariah dosebut juga dengan aliran Mu’tazilah.

4. Aliran Jabariyah

Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Paham Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam paham ini tidak memilki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Aliran Jabariyah ini selanjutnya mengembangkan pahamnya sejalan dengan perkembangan masyarakat pada masa itu.  Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Jabariyah ini mengajarkan paham bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya berada dalam keadaan terpaksa. Manusia dianggap tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan.

Dalam sejarah tercatat, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyah di kalangan umat Islam adalah Al-Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Mad ini kemudian disebarluaskan oleh para pengikutnya.

B. Sejarah Singkat Tasawuf beserta Aliran-alirannya

Kata tasawuf dan sufi belum dikenal pada masa awal Islam, namun tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada walaupun istilah sufi dan nama ilmu tersebut belum muncul. Ilmu kesufian atau ilmu tasawuf adalah ilmu yang didasari oleh al-Qur’an dan al-Hadits dengan tujuan utama mengesakan Allah dengan amar ma’ruf nahi munkar. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyah oleh Abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H) dengan meletakkan al-sufi dibelakang namanya menjadi Abu Hasyim Al-Sufi. Dalam sejarah Islam sebelum muncul aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyah. Zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[2]

Akan tetapi setelah tasawuf menjadi sebuah ilmu pengetahuan maka pengertian tentang tasawuf sebagai ilmu kerohanian maupun sebagai mistisisme dalam Islam, masih perlu dilihat dari tipe-tipe atau mazhab-mazhab tasawuf.  tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk, yaitu; tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah ketiga adalah tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisis. Apabila tasawuf diartikan sebagai upaya agar berada sedekat  mungkin dengan Tuhan maka tasawuf dapat dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” antara manusia dengan Tuhan. Tipe tasawuf ini kemudian disebut tasawuf Syi’I dan tipe pertama disebut tasawuf Sunni. Apabila konsepnya dipandang telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam,” maka ia dikelompokkan kepada tasawuf Syi’i, sebaliknya apabila ajaran tasawuf itu masih berada dalam garis garis  islam disebut tasawuf Sunni. Dalam Ilmu tasawuf terminologi tarekat tidak hanya berarti sebagai  metoda tertentu atau jalan yang dapat mengantarkan seorang agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan, tatpi ia juga bermakna segenap ajaran Islam adalah tarekat menuju umat menuju perjumpaan  Tuhan. Tarekat dalam terminologi tasawuf adalah gaya yang ditempuh seseorang sufi dalam memahami, menghayati dan mengamalkan seluruh aspek ajaran islam agar ia selalu berada dekat dengan Tuhan. Berdasarkan kode etik keilmuan dan penyajian yang lebih bersifat akademik, maka penulis membedakan tasawuf kepada dua aliran, vaitu TASAWUF SUNNI dan TASAWUF FALSAFI.

Apabila dibandingkan antara konsep-konsep tasawuf Sunni dengan tasawuf falsafi, ada sejumlah kesamaaan yang jelas disamping adanya perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari al-Quran dan sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsekuen. Tasawuf sunni berpendapat, bahwa antara makhluk dengan Khalik tetap ada Jarak yang terpisah sehingga tidak mungkin tumbuh karena keduanya tidak seesensi. Lain halnya dengan tasawuf falsafi, mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia berasal dan tercipta dari esensi-Nya.

Terjadinya perbedaan itu bersumber dari perbedaan kecenderungan dan minat terhadap pemikiran-pemikiran spekulatif filsafat. Tasawuf ini kurang memperhatikan ide-ide spekulatif karena mereka sudah, merasa puas dengan argumentasi yang bersifat naqli  agamawi.  Nampaknya perbedaan dan sebab penamaan itu tidak terletak pada menyimpang  atau tidaknya dari ajaran Islam atau karena perbedaan nilai, tetapi perbedaan itu hanyalah bersifat instrumental belaka yakni sistem pemecahan masalah. Di satu pihak membatasi diri hanya menggunakan  landasan naqli, sedangkan dipihak lainnya menggunakan alat bantu yang bersifat aqli filsafati, filsafati timur, filsafat dari belahan dunia barat.

C. Sejarah Singkat Filsafat Islam beserta aliran-alirannya

Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al-rasyid, dimulailah penerjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.

Penerjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca oleh ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filosof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam. Dan muncullah beberapa aliran filsafat Islam. Aliran-alirannya adalah yang akan kami jelaskan sebagai berikut :

A. Aliran Paripatetik

Istilah paripatetik merujuk kepada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya. Dengan demikian istilah paripatetik ini merujuk kepada para penbgikut Aristoteles. Tokoh-tokoh yang dikategorikan dalam aliran ini diantaranya adalah al-Kindi (w.866), al-Farabi (W.9540), ibn Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (W.1196), dan Nashir al-Din Thusi (w. 1274).

Ciri khas dari aliran ini adalah penjelasan yang bersifat diskursif, yakni menggunakan logika formal berdasarkan penalaran akal. Lalu sifatnya tidak langsung karena mereka menggunakan symbol dalam menangkap objek dan cirri lainnya adalah penekanan yang kuat pada daya-daya rasio.

B. Aliran Iluminasionis (Isyraqi)

Aliran ini didirikan oleh Pemikir Iran bernama Suhrawardi al-Maqtul yang dijatuhi hukuman mati karena dituduh oleh para ulama Suriah yang iri padanya bahwa ia telah menyebarkan aliran sesat.

Karakteristik dalam filsafat iluminasionis ini diantaranya adalah mementingkan posisi pengetahuan intuitif (irfani) sebagai pendamping dari penalaran rasional. Jadi Suhrawardi mensintesiskan dua pendekatan burhani dan irfani dalam sebuah system pemikiran yang solid dan holistic.

C. Aliran Irfani (Tasawuf)

Dalam perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Bahkan Suhrawardi sendiri mengatakan bahwa tasawuf merupakan fundamental bagi filsafat. Sebagaimana yang kita ketahui tasawuf didasarkan oleh pengetahuan intuitif. Persepsi intuitif berbeda dengan persepsi intelektual, karena persepsi intuitif ini bisa langsung menembus langsung jantung objeknya. Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah pertanyaan retorik :” Bisakah anda menyunting mawar dengan M.A.W.A.R?” Tidak, anda baru menyebut nama” kata Rumi, “ Carilah yang empunya Nama!”

Tentu saja pertanyaan ini menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas objeknya. Menurut para sufi, “Cinta” pun tidak akan bisa dipahami oleh akal kecuali jika kita mengalaminya sendiri.

D. Aliran Hikmah Muta’aliyah

Aliran ini diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w.1641) yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran filsafat yaitu Paripatetik, Iluminasi, dan Irfani.

Filsafat hikmah percaya bukan hanya pada akal diskursif, melainkan juga pada pengalaman mistik. Namun filsafat Hikmah disini menekankan bahwa pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan “harus” diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi public. Mulla shadra juga membicarakan antara kesatuan akal dan ma’qul. Tidak mungkin ada yang dipikirkan (al-ma’qul) kalau tidak ada yang berpikir (aqil). Maka ma’qul tidak akan menjadi yang dipikirkan kalau dilepas hubungannya dengan yang berpikir, atau kalau yang terakhir dipandang sama sekali lain daripada dirinya. Karena itu maka yang dipikir (ma’qul) haruslah sama dengan sesuatu yang bisa berpikir (‘aql), yang pada gilirannya harus sama juga dengan yang berpikir (‘aqil). Mulla Shadra juga menciptakan ajaran Wahdatul Wujud sebagaimana Ibn Arabi tetapi tentunya dengan perbedaan yang cukup signifikan.[3]

 

 

 

 

 

2. Pengertian dan Pembahasan Ilmu Kalam (Teologi), Filsafat Serta Tasawuf

A. Pengertian Teologi dan Objek Pembahasannya

Teologi merupakan suatu ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar tersebut biasa disebut dengan Usul al-Din, aqa’id dan disebut pula credos. Teologi dalam Islam disebut juga dengan ilmu tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa, dan keesaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monoteisme, merupakan sifat terpenting dari segala sifat-sifat Tuhan. Teologi dalam Islam disebut juga dengan Ilmu Kalam. Arti Kalam adalah kata-kata. Jika yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm kalam, karena persoalan mengenai kalam (Sabda Tuhan) atau al-Qur’an pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad IX dan X masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim waktu itu. Jika yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut dengan ‘ilm kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.[4]

Ilmu Kalam membahas iman dan akidah dari berbagai aspek dan memaparkan alasan-alasan yang memperkuat pembahasan tersebut. ilmu kalam ini merupakan studi tentang doktrin (akidah) dan iman Islam. Secara sederhana Murtadha Muthahhari mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam. Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok tersebut. karena sebagian besar perdebatan tentang akidah-akidah Islam berkisar seputar huduts (kemakhlukan, keterciptaan, temporalitas) atau qidam (keabadian) firman atau kalam Allah, maka disiplin yang membahas akidah utama agama Islam pun mendapat sebutan “ilmu kalam” (secara harfiah, ilmu firman).

B. Pengertian Filsafat Islam dan Objek Pembahasannya

Filsafat adalah usaha manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara radikal dan universal hakikat semua yang ada, yakni meliputi hakikat Tuhan, hakikat Alam Semesta, dan hakikat manusia serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham dan pemahamannya.[5]

Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf  tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya.[6] Menurut Ahmad Fu’ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.

Pendapat lain mengatakan bahwa filsafat islam adalah filsafat Qur’aniah, yaitu filsafat yang berorientasi kepada al-Qur’an untuk mencari jawaban-jawaban mengenai masalah-masalah asasi filsafat kepada wahyu.[7] Namun penamaan istilah filsafat islam pada dasarnya adalah karena islam ini bukan hanya sekedar agama namun termasuk juga di dalamnya kebudayaan. Jadi pemikiran filsafat ini juga tentunya terpengaruh oleh kebudayaan islam tersebut, meskipun pemikiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan.[8] Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. filsafat sebagai ilmu yang mengungkap tentang wujud-wujud melalui sebab-sebab yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin yang sampai kepada munculnya suatu sebab. Ilmu terhadap wujud-wujud itu adalah bersifat keseluruhan, bukan terperinci, karena pengetahuan secara terperinci menjadi lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena sifatnya keseluruhan, maka filsafat hanya membicarakan benda pada umumnya atau kehidupan pada umumnya. filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.

Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah :

1. Dapat menolong dan menididik, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk Tuhan.

2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan.

C. Pengertian Tasawuf dan Objek Pembahasannya

Tasawuf berasal dari kata shafw yang artinya bersih atau shafaa, dari kata shuffah yang artinya suatu kamar disamping mesjid Rasulullah di kota Madinatul Munawwarah, berasal dari kata shaff yang artinya barisan dikala sembahyang sholat, dari kata shaufanah yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak sekali tumbuh di padang pasir, dan kaum sufi mengenakan baju berbulu seperti buah itu, dalam kesederhanaannya.[9]Tasawuf juga berasal dari kata shuf’ wol. Konon, dulu para sufi (ahli tasawuf) biasa berpakaian shuf atau bulu domba. Secara istilah tasawuf bisa disamakan dengan mystic, yaitu satu system cara bagaimana agar seseorang bisa mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan yang Mahakekal dan Mahasempurna. Hubungan ini adalah berdasarkan cinta dan kasih.[10] Ibn Khaldun berpendapat bahwa “ Tasawuf adalah jalan kebenaran dan petunjuk. Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah, konsentrasi secara penuh kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjauhan diri dari kelezatan, harta dan pangkat dan pemisahan diri dari orang lain untuk menyendiri dan beribadah,”[11] yang tujuannya menurut Abd-al-Hakim Al-Hasan adalah sampai (wusul) kepada Zat Yang Haq dan atau Zat Yang Mutlak dan bersatu (ittihad) dengan-Nya.[12] Sedangkan tasawuf menurut Abu Nasar al-Sarraj adalah menghindari hal-hal yang terlarang, melakukan kewajiban-kewajiban agama dan menolak dunia. Menurut Abu Bakar al-Kalabadhi Tasawuf adalah menarik diri dari dunia, meninggalkan semua hal yang sudah mapan, terus menerus berkelana, menolak kesenangan-kesenangan hawa nafsu bagi jiwa, menyucikan perilaku dan memberikan hati nurani.[13]

Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Muslim berada sedekat mungkin dengan Allah. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Para sufi mengembangkan suatu cara bagaimana bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan yang hendak dicapainya adalah kebahagiaan, yakni dengan persatuannya dengan Kekasih. Kesengsaraan yang memilukan bagi mereka bukanlah masuk Neraka, tetapi apabila Tuhan telah menjauhi dan tidak mau bicara dengan mereka. [14] Objek kajian tasawuf adalah Tuhan (Al-Haq) , yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya.

D. Korelasi antara Filsafat Islam, ilmu Kalam dan Tasawuf

1. Filsafat Islam dan Ilmu Kalam

Setelah abad ke-6 Hijriah terjadi percampuran antara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan mana Ilmu Tauhid. Yaitu pembahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil naqli juga tampak pada perbincangan mutakalimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat Islam.

Jadi Filsafat Islam bertujuan untuk menyelaraskan antara firman dan akal, ilmu pengetahuan dengan keyakinan, agama dengan filsafat serta menunjukkan bahwa akal dan firman tidak bertentangan satu sama lain. Walaupun orientasinya bersifat religius, namun isu-isu penting dalam filsafat tidak diabaikan, seperti waktu, ruang, materi, kehidupan dan masalah-masalah kontemporer.

Filsafat islam dan ilmu kalam sangat kuat pengaruhnya satu sama lain. Kalam mencuatkan masalah-masalah baru bagi filsafat, dan filsafat membantu memperluas area, bidang, atau jangkauan kalam, dalam pengertian bahwa pembahasan tentang banyak masalah filsafat jadi dianggap penting dalam kalam. Filsafat Islam mengandalkan akal dalam mengkaji objeknya-Allah, Alam dan Manusia-tanpa terikat dengan pendapat yang ada (pemikiran-pemikiran yang sama sifatnya, hanya berfungsi sebatas masukan dan relative). Nash-nash agama hanya sebagai bukti untuk membenarkan hasil temuan akal. Sebaliknya, ilmu kalam mengambil dalil akidah sebagaimana tertera dalam wahyu, yang mutlak kebenarannya untuk menguji objeknya – Allah dan sifat-sifatnya, serta hubungan dengan Allah dengan Alam dan Manusia sebagaimana tertuang dalam kitab suci – menjadikan filsafat sebagai alat untuk  membenarkan nash agama. Seperti keberadaan Allah, Filsafat Islam mengawali pembuktiannya dengan argumentasi akal, barulah pembenarannya diberikan oleh wahyu, sementara ilmu kalam mencari wahyu yang berbicara tentang keberadaan Allah, baru kemudian didukung oleh argumentasi akal. Walaupun objek dan metode kedua ilmu ini berbeda, tapi saling melengkapi dalam memahami Islam dan pembentukan akidah Muslim.[15]

2. Filsafat dan Tasawuf

Tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah terbagi ke dalam dua bagian, yakni Tasawuf Amali/Akhlaqi dan Tasawuf Falsafi (Ibn Arabi dan Al-Hallaj). Dari pengelompokkan ini tergambar adanya unsur-unsur filsafat dalam ajaran tasawuf, seperti logika dalam penjelasan maqomat (al-fana-al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al-wujud).

Tasawuf  Falsafi yang biasanya juga disebut dengan irfan yakni secara teknis diterapkan pada persepsi-persepsi khas yang ditangkap melalui pemusatan perhatian relung terdalam jiwa dan tidak melalui pengalaman inderawi dan rasional. Irfan sejati diperoleh semata-mata melalui keterikatan Allah dan ketaatan kepada segenap perintah-Nya. Keterikatan tanpa pengetahuan mustahil adanya, dan pengetahuan ini mesti bersandar pada sejumlah prinsip filsafat. Penyingkapan dan visi irfan memunculkan masalah-masalah baru untuk diuraikan dan dikupas tuntas oleh filosof, dan memperluas cakrawala pandang filsafat. Dalam pemecahan berbagai masalah dalam ilmu-ilmu kefilsafatan, visi-visi irfan bisa dianggap sebagai pendamping. Banyak hal yang terbukti secara rasional dalam filsafat, terungkap pula melalui penglihatan kalbu.[16]

Kajian-kajian Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf.

3.  Hubungan Antara Ilmu Kalam, filsafat dan Tasawuf

A. Titik Persamaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam merupakan salah satu ilmu islam yang mengkaji akidah (doktrin)[17]. Objek kajian filsafat adalah masih dalam masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-uapaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, di lihat dari objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.

Argumen filsafat- sebagai mana ilmu kalam– dibangun di atas logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimental). Kerelatifan hasil karya logika itu menyebabkan beragamannya kebenaran yang dihasilkannya.

Bagi ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuaan karena berada di luar atau di atas jangkauanya), atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikai berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spritual menuju Tuhan.

Pada intinya bahwa ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf memliki kesamaan dalam segi bojek kajiannya, yaitu tentang Tuhan dan segala yang berkaitan dengan_Nya. Namun dalam kajian objek tersebut hanya dibedakan dalam penamaannya saja. Ilmu kalam dalam objek kajiannya dikenal dengan sebutan kajian tentang Tuhan, sedangkan dalam filsafat di kenal dengan sebutan kajian tentang Wujud dan dalam ilmu tasawuf (irfan) dikenal dengan sebutan kajian tentang Al-Haq. Akan tetapi pada dasarnya ketiga ilmu tersebut mengkaji kajian tentang Tuhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan_Nya.

B. Titik Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

1. Ilmu Kalam

Setelah membahas tentang persamaan dari ketiga ilmu tersebut, yaitu terdapat persamaan dalam objek kajiannya, maka akan ditemukan juga titik perbedaannya. Perbedaan di antara ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga dengan istilah dialog keagamaan. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.

Meskipun ilmu kalam merupakan sebuah disiplin ilmu yang rasional dan logis, namun kalau dilihat adari asas-asas yang dipakai dalam argumentasinya terdiri dari dua bagian, yaitu ; Aqli dan Naqli[18]. Bagian Aqli ini terbangun dengan dasar pemikiran yang rasional murni, itupun kalau ada relevansinya dengan Naqli. Karena naqli tersebut adalah untuk menjelaskan dan menegaskan pertimbangan rasional supaya memperkuat argumen-argumennya.

2. Ilmu Filsafat

Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikatat  oleh apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of conceptual clarity). Murthadha muthahari berkata bahwa metode filsafat hanya bertumpu pada silogisme (qiyas), argumentasi rasional (istidal aqli) dan demonstrasi rasional ( burhan aqli).[19]

Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika maka dalam filsafat dikenal apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam pandangan korespodensi, kebenaran adalah persesuaian antara kenyataan sebenarnya di alam nyata. Disamping kebenaran korespodensi, di dalam filsafat juga dikenal kebenaran korehensi. Dalam pandangan korehensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran dianggap tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama umum.

Disamping dua kebenaran di atas, di dalam filsafat dikenal juga kebenaran pragmatis. Dalam pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mungkin dapat dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu akan dianggap tidak benar kalau tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk di kerjakan.

3. Ilmu Tasawuf

Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf  bersifat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sulit dibahasan. Pengalaman rasa lebih muda dirasakan langsung oleh orang yang ingin memperoleh kebenaranya dan mudah digambarkan dengan bahasa lambang, sehingga sangat interpretable dapat diinterpretasikan bermacam-macam). Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau  ilham, atau inspirasi yang datang dari tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek sendiri. Itulah sebabnya dalam sains dikenal istilah objeknya  tidak objektif. Ilmu seperti ini dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui bersama atau tacit knowledge, dan bukan ilmu proporsional.

Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains dan  filsafat sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman,sosial, dan humaniora; sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat modern. Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis.

4. Manfaat Dari Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya), teologi diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang baru untuk mengenal rasional sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya langsung. Dengan cara ini, orang yang telah mempunyai rasio sangat prima diharapkan dapat mengenal Tuhan secara meyakinkan melalui rasionya. Adapaun tasawuf lebih perperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya.

5. Tabel persamaan dan Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

 

Ilmu kajian

Objek kajian

Metodologi kajian

Kalam

Tuhan

Aqli dan Naqli

Filsafat

Wujud

Aqli (empiris)

Tasawuf (Irfan)

Al-Haq

Kasyf (pengalaman)

 

            Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan awal, bahwa table tersebut menjelaskan objek kajian ilmu kalam, filsafat dan tasawuf itu sama, yaitu kajian tentang Tuhan namun hanya dalam segi penamaannya saja yang berbeda. Adapun dalam segi perbedaanya jelas bahwa kalam menggunakan aqli yang diseimbangkan atau diperjelas oleh naqli, sedangkan filsafat hanya menggunakan aqli (rasional) saja, yaitu melakukan kajian secara empiris dan menggunakan akal secara prima, dan tasawuf dengan menggunakan metode rasa (rasio) dan hati (intuisi), dengan menggunakan pengalaman dengan melakukan tiga proses penting, yaitu takhali (pengosongan dir dari perbuatan buruk), tahali (penghiasan diri dengan perbuatan-perbuatan baik) dan tazali (penyucian diri).


[1] Muthahhari, Murtadha, Mengenal Ilmu Kalam, hal. 18

[2] Budi Santoso bin Danuri bin Abdullah, Sentot. Wujud (Menuju Jalan Kebenaran), hal. 5

[3] Kartanegara, Mulyadhi. Gerbang Kearifan,  hal. 26

[4] Nasution, Harun. Teologi Islam, Pendahuluan

[5] Anshari, Endang Saifudin. Wawasan Islam, hal. 113

[7] Anshari, Endang Saifudin. Wawasan Islam, hal. 114

[8] Hanafi, A. Pengantar Filsafat Islam, hal. 23

[9] Budi Santoso bin Danuri bin Abdullah, Sentot. Wujud (Menuju Jalan Kebenaran), hal. 13

[10] Anshari, Endang Saifudin. Wawasan Islam, hal. 116

[11] Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf, hal. 204

[12] Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf, hal. 205

[13] Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, hal. 99

[14] Kartanegara, Mulyadhi. Mozaik Khazanah Islam, hal.144

[15] Nasution, Hasyimiah. Filsafat Islam, hal.6

[16] Yazdi, M.T. Mishbah. Buku Daras Filsafat Islam, hal. 78

[17] Murthadha Muthahari. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Hlm. 196

[18] Murthadha Muthahari. Mengenal Ilmu Kalam, Hlm.24

[19] Murthadha Muthahari. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Hlm.326

penulis :  Ridwan Efendi

Tinggalkan komentar